Membangun Birokrasi
Pelayanan Pendidikan
Suatu Pendekatan
Layanan Prima Berbasis IT
edy siswanto
Pendahuluan
Struktur organisasi dan sistem manajemen pemerintahan
telah mengalami perubahan, masalah yang ditemui adalah sentralisasi yang
berlebihan, ketidakluwesan, komunikasi informasi yang tidak akurat serta tidak
efisien. Melalui Pemerintah Daerah
diharapkan pemerintah mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan
daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan
mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomis yang wajar, efisien dan
efektif. Dalam hal ini termasuk didalamnya kemampuan perangkat daerah dalam
meningkatkan kinerjanya, mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah atasanya
maupun masyarakat.
Hal ini sejalan dengan meningkatnya ilmu pengetahuan
masyarakat saat ini, disamping adanya pengaruh globalisasi, informasi dan
komunikasi yang semakin canggih. Untuk itu aparatur pemerintah harus dapat
mengimbangi tuntutan masyarakat, dengan memantapkan kepribadian dan semangat
pengabdian dalam menunjukan kinerjanya.
Dalam mewujudkan hal tersebut, kita memerlukan aparatur
yang profesional, memiliki kualitas dan integritas kepribadian yang mengacu
pada moralitas yang luhur. Aparatur yang profesional berarti tingkat keahlian
dan keterampilannya cukup memadai, yaitu memiliki etos kerja dan disiplin kerja
yang tinggi, sehingga pada akhirnya bermuara pada peningkatan kinerja pegawai
yang optimal dan mampu memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, yaitu
terciptanya pemerintahan yang baik, bersih, jujur dan berwibawa atau good govemance dan clean
govemment.
Demikian juga disetiap daerah, Peraturan Daerah (Perda), Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK), senantiasa dinamis mengikuti perkembangan zaman. Nomenklatur
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) senantiasa berubah sesuai tuntutan
keadaan. Apabila tidak dimbangi dengan kesiapan, perubahan demi perubahan
tentunya akan menimbulkan permasalahan baik dari dalam tubuh organisasi itu
sendiri maupun pada lingkungan kerja organisasi.
Sebuah perubahan akan membawa dampak dimana seseorang
memerlukan adaptasi dan konsolidasi yang cukup memakan waktu, sebagai contoh
misalnya adaptasi dengan teman kerja dan adaptasi terhadap pimpinan
organisasinya. Dengan perubahan-perubahan seperti itulah maka akan membawa
dampak yang negatif bagi seorang pegawai, sehingga seorang pegawai cenderung
akan melemah dalam melakukan pekerjaannya, menurunnya motivasi dan cenderung
tidak merasa puas, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam kinerja pegawai.
Banyak para pejabat khusunya birokrasi yang menangai
pendidikan saling was-was apakah bakal menempati jabatan strategis atau tidak
dan siapa yang akan terlempar jelas semua itu akan berimplikasi dikalangan
pegawai yang pada gilirannya bisa berdampak pada kurang optimalnya kinerja
pegawai. kinerjanya dapat berpengaruh terhadap berhasil dan tidaknya urusan
pemerintah dan masyarakat, sehingga berakibat meningkatnya kualitas dan
kuantitas serta kompleksitas permasalahan. Hal inilah yang akan menjadikan
motivasi pegawai turun, persaingan antar pejabat yang kurang baik juga hubungan
efektif yang seharusnya terbina antar institusi/kelembagaan menjadi kurang
baik, karena adanya ego masing-masing lembaga/institusi. Juga karena faktor
kejenuhan bisa disebabkan karena : rutinitas pekerjaan (karena tidak ada rotasi pegawai), lingkungan
kerja yang membosankan. Sistem kepemimpinan yang kurang terbuka dan tidak adil, kurang adanya penghargaan dari pimpinan, tidak adanya peningkatan karir. Kurangnya
kesejahteraan bagi pegawai
Permasalahan mengenai kinerja adalah permasalahan yang
akan selalu dihadapi oleh pihak-pihak manajemen organisasi, karena itu
manajemen perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja
pegawai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai akan membuat
manajemen organisasi dapat mengambil berbagai kebijakan yang diperlukan sehingga
dapat meningkatkan kinerja pegawai agar sesuai dengan harapan organisasi.
Kinerja merupakan fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x
M x O), artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan
kesempatan (Robins, 1996). Dengan demikian kinerja ditentukan oleh
faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan.
Menurut Donelly dalam Rivai (2005), kinerja pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor kemampuan, keinginan dan lingkungan. Permasalahan
kinerja pegawai dibatasi pada kerajinan dalam melaksanakan tugas, ketercapaian
dalam menjalankan tugas, keakuratan dalam melaksanakan tugas, loyalitas dalam
mengemban tugas, penuh inisiatif dan kemampuan dalam bekerjasama antar pegawai.
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan
diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian
hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi
serta mengetahui dampak negatif suatu kebijakan operasional yang diambil.
Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat
diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan
kegiatan-kegiatan uatama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan,
menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan
lain-lain (BPKP, 2000).
Tim Studi Pengembangan Sistem Akutabilitas Kinerja
Instansi pemerintah, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2000)
mengemukakan pengertian Kinerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan
startegis (strategic planing) suatu
organisasi.
Kinerja menurut Rivai (2005), adalah hasil atau
tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam
melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar
hasil target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentutkan lebih dahulu dan
telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah
terjemahan dari performance. Berasal
dari kata “to perform” dengan
beberapa entries yaitu (1).
Melakukan, menjalankan, melaksanakan, (2). Memenuhi atau melaksanakan kewajiban
atau niat atau nazar. (3). Melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab dan
(4). Melakukan sesuatu yang diaharapkan oleh seseorang
atau mesin.
Dari beberapa definisi tersebut, maka secara umum dapat
dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi
atau pegawai dalam periode tertentu, yaitu prestasi berkaitan efektivitas
operasional organisasi, baik dari segi efesiensi keuangan maupun manajemen.
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau
ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x
M x O). Artinya kinerja
merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, dan
kesempatan, (Robbin, 1996). Dengan
demikian kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan
kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang
sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan
karyawan. Meskipun individu bersedia dan mampu, bisa menjadi penghambat,
sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gb 1 |
Donelly (Rivai ; 2005), menyatakan bahwa kinerja individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu harapan mengenai imbalan, dorongan,
persepsi kepada tugas, imbalan internal dan eksternal, persepsi terhadap
tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dengan demikian kinerja pada dasarnya
ditentukan oleh tiga hal, yaitu kemampuan, keinginan dan lingkungan. Oleh karena itu agar mempunyai
kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang tinggi untuk
mengerjakan serta mempengaruhi pekerjaannya. Tanpa ketiga faktor ini kinerja yang baik tidak akan tercapai. Dengan
demikian, kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara
pekerjaan dan kemampuan.
Seorang pegawai tidak akan mampu bekerja dengan baik jika
tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan. Meskipun pekerjaan
tersebut dapat selesai dikerjakan namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Oleh karena itu dalam peningkatan kinerja seorang karyawan, kemampuan bidang
tugas pekerja yang bersangkutan sangat penting.
Mursi (1998), dalam pandangan islam, menyerahkan urusan
kepada orang yang tidak menguasai, maka tunggulah kehancurannya.
II. Kecerdasan Emosial dan
Peningkatan Kinerja
Dalam kehidupan ini kita sering beranggapan bahwa yang
sangat penting dan menentukan dalam berbagai hal adalah kecerdasan otak,
sedangkan kemampuan lain menjadi kurang penting. Setelah belakangan ini muncul
istilah kecerdasan emosional atau emotional
intellegence yang diungkap oleh Daniel Goleman yang mengutip berbagai
penelitian ternyata menemukan bahwa kecerdasan emosional mempunyai peran sangat
penting untuk meraih kesuksesan. Keberhasilan seseorang ditentukan hanya 20%
dari IQ dan selebihnya ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotient). EQ dan IQ dapat
membuat perbedaan dalam meraih keberhasilan. EQ artinya
menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan
produktif dan meraih keberhasilan.
Emosional merupakan salah satu ciri yang dimiliki
manusia, tanpa emosi seseorang akan menjadi seperti robot yang hanya
mengandalkan logika saja, terutama dalam fungsinya sebagai mahluk sosial yang
selalu berhubungan dengan orang lain, emosi sangat berperan penting. Dengan
emosi hubungan manusia akan lebih bervariasi atau tidak monoton. Mengingat hal
itu pengelolaan emosi menjadi sangat penting untuk menuju kercerdasan emosi.
Seorang yang mempunyai kecerdasan pikiran dan kecerdasan emosional yang tinggi
akan lebih mampu bersaing dan bekerjasama dibandingkan dengan seseorang yang
hanya mempunyai kecerdasan pikiran saja.
Keberhasilan sumber daya manusia tidak bisa terlepas dari perilaku individu
yang perlu dikelola untuk meningkatkan kinerja pegawai adalah
kecerdasan emosional.
Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi
mempunyai kemampuan untuk mengelola perasaannya antara lain dapat memotivasi
dirinya sendiri dan orang lain, tegar menghadapi frustasi, sanggup mengatasi
dorongan-dorongan primitif dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang
aktif dan mampu berempati dan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik
dibandingkan dengan orang lain.
Kemampuan menurut Goleman (1999), adalah kemampuan
menguasai dan mengelola diri sendiri serta kemampuan dalam membina hubungan
dengan orang lain. Kemampuan tersebut disebut dengan kecerdasan emosi/Emotional Quotient (EQ), dan melalui
penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosi menyumbang 80% dari faktor
penentu kesuksesan seseorang, 20% yang lain ditentukan oleh Intelligence Quotient (IQ).
Mengingat pentingnya tuntutan kinerja pegawai di instansi
pemerintah, motivasi kerja juga menjadi perhatian bagi pengelola organisasi.
Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (1996), motivasi merupakan keadaan pribadi
dalam seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan
tertentu guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut Asep dan Tanjung
(2003), manfaat motivasi adalah menciptakan gairah kerja, sehingga kinerja
meningkat.
Menurut Irmin (2005), motivasi kerja adalah salah satu
faktor penting dari prestasi seseorang, selain motivasi kerja faktor penting
lainnya adalah potensi atau kemampuan seseorang. Tetapi motivasi lebih penting
daripada potensi. Potensi relatif lebih konstan, bahkan cenderung bertambah
keberadaannya.
III. Pentingnya
Motivasi Kerja
Kata
motivasi sering digunakan dalam berbagai cara, karena erat kaitannya dengan
proses psikologis di dalam diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara
sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri orang yang
bersangkutan. Oleh karenanya banyak para ahli yang mencoba memberikan batasan
pengertian motivasi sesuai dengan pendekatan teoritis yang digunakan.
Robbin (1996), mengemukakan motivasi merupakan kesediaan
untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan organisasi, yang
dikoordinasikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan
individu.
Menurut Mursi (1998), motivasi adalah keadaan
internal individu yang melahirkan kekuatan, kegairahan dan dinamika, serta
mengarahkan tingkah laku pada tujuan. Dalam pengertian lain motivasi merupakan
istilah yang dipergunakan untuk menunjuk sejumlah dorongan, keinginan,
kebutuhan dan kekuatan.
Menurut pandangan Mc. Clellend (Robbin ; 1996), bahwa ada
tiga karakteristik kebutuhan manusia yang dianggap memiliki motivasi untuk
berprestasi yaitu :
1. Kebutuhan berprestasi (need of achievement) yaitu dorongan untuk menggungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat dan sukses.
2. Kebutuhan afiliasi (need of affiliattion) yaitu hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan karib.
3. Kebutuhan kekuasaan (need of power) kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku (tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian).
Atkinson dan Stoner (1992), mengaitkan perilaku dan prestasi dengan tiga dorongan dasar yang sangat berbeda diantara setiap orang :
1. Kebutuhan berprestasi (need of achievement) yaitu dorongan untuk menggungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat dan sukses.
2. Kebutuhan afiliasi (need of affiliattion) yaitu hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan karib.
3. Kebutuhan kekuasaan (need of power) kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku (tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian).
Atkinson dan Stoner (1992), mengaitkan perilaku dan prestasi dengan tiga dorongan dasar yang sangat berbeda diantara setiap orang :
1.
Kebutuhan
pencapaian (need of achievement)
2. Kebutuhan
akan kekuasasn (need of power)
3. Kebutuhan
akan afiliasi (need of affiliation)
Hasil penelitian Maslow dalam Mursi (1998), menemukan
kebutuhan primer manusia adalah :
1.
Kebutuhan
fisiologis
2.
Kebutuhan
terhadap rasa aman dan keselamatan
3.
Kebutuhan
terhadap afiliasi, cinta dan kegiatan sosial
4.
Kebutuhan
terhadap pengakuan, penghargaan dan kedudukan
5.
Kebutuhan
terhadap aktualiasasi diri
Berdasarkan konsep-konsep yang dijabarkan oleh Atkinson dan
Stoner (1992), David Mc (Robin ; 1996), Maslow dan Mursi (1998), di atas maka
penulis mengambil indikator-indikator
variabel motivasi seperti yang dikemukakan oleh David Mc (Robin ; 1996),
sebagai berikut : (1). Kebutuhan berprestasi. (2). Kebutuhan
afiliasi. (3). Kebutuhan kekuasaan.
III.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja
Mengingat motivasi kerja pegawai berupa kondisi kejiwaan,
sehingga timbulnya motivasi tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
sebagai suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap,
kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seorang pegawai.
Secara umum faktor-faktor yang dapat menimbulkan motivasi kerja pegawai menurut
Wahjosumijo (2000 : 174) terdiri dari dua faktor sebagai berikut :
1. Faktor
di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsik. Faktor intrinsik
ini dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman, dan pendidikan, atau berbagai
harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan;
2. Faktor di luar diri seseorang yang disebut
ekstrinsik. Faktor ini dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, bisa karena
pengaruh pimpinan, kolega, atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa timbulnya motivasi kerja pada diri seorang pegawai disebabkan karena adanya rangsangan, baik rangsangan yang datang dari dalam diri pegawai yang bersangkutan maupun rangsangan yangdatang dari luar seperti pengaruh dari dorongan teman sejawat, ataupun dorongan dan arahan dari pimpinanya, atau dapat pula datang dari kondisi lingkungan kerja pegawai.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa timbulnya motivasi kerja pada diri seorang pegawai disebabkan karena adanya rangsangan, baik rangsangan yang datang dari dalam diri pegawai yang bersangkutan maupun rangsangan yangdatang dari luar seperti pengaruh dari dorongan teman sejawat, ataupun dorongan dan arahan dari pimpinanya, atau dapat pula datang dari kondisi lingkungan kerja pegawai.
Kriteria pengukuran terhadap motivasi kerja pegawai
menurut Kerlinger (1995 : 160) sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Memandang kekuatan motivasi dalam bentuk persamaan;
motivasi = fungsi (motive + expectation + incentive) atau M = f (M+E+I). Sedangkan kekuatan dari motivasi
untuk melakukan beberapa kegiatan adalah fungsi dari;
kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu
keadaan dimana di dalam diri setiap orang, tingkatan alasan
atau motif-motif yang menggerakkan tersebut menggambarkan tingkat untuk
memenuhi suatu kepentingan.
Sesuai pendapat di atas menujukkan bahwa pengukuran
terhadap motivasi kerja pegawai dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
kriteria, yaitu : motif, pengharapan, dan insentif. Dari masing-masing kriteria
tersebut mampu menggerakkan kehendak seorang pegawai untuk melaksanakan suatu
pekerjaan hingga tercapainya tujuan pekerjaan tersebut.
Dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang
biasanya dinamakan motif, sebagaimana dijelaskan oleh Kerlinger (1995 : 162)
sebagai berikut :
Motive
(motif) adalah
suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau
setidaknya adalah suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan/tingkah laku
tertentu. Dorongan untuk melakukan suatu perbuatan/tingkah laku tertentu
tersebut dapat datang dari luar ataupun merupakan hasil dari suatu proses
pemikiran daari dalam diri seseorang.
Pengertian di atas menjelaskan bahwa motif merupakan
dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
guna mencapai suatu tujuan tertentu. Datangnya dorongan tersebut juga dapat
berasal dari luar, dalam arti dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di luar
orang yang bersangkutan.
Pengharapan (expectation)
dapat diartikan sebagai “Kemungkinan bahwa dengan perbuatan akan mencapai
tujuan” (Kerlinger, 1995 : 166), atau ada juga pendpat lain yang menyatakan
sebagai berikut :
Individu dipengaruhi kelakuannya oleh dua sumber yang
besar, yaitu; sumber-sumber harapan yang berkenaan dengan peranannya antara
lain tuntutan formal daari pihak pimpinan yang terperinci dalam tugas yang
seharusnya dilakukan. Dan tuntutan informal yang dituntut oleh
kelompok-kelompok yang ditemui dalam lingkungan kerja. Jadi ada daya-daya
harapan secara formal dan informal yang kedua-duanya menuntut kelakuan tertentu
daari individu. Sebagai akibat dari tuntutan ini individu berusaha untuk
menyusun suatu struktur dalam situasi sosial yang dihadapinya dan untuk
mendefinisikan peranannya dalam struktur tersebut.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa sumber harapan
mempengaruhi individu ada dua macam, yaitu tuntutan formal dan tuntutan
informal. Tuntutan formal berasal dari pimpinan yang terperinci dalam bentuk
tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh pegawai. Dalam tuntutan formal ini
dirumuskan hubungan yang harus dilakukan di antara pegawai yang satu dengan
yang lainnya, serta ditentukan pula siapa yang harus memberikan laporan kerja
dan kepada siapa saluran wewenang resmi harus disampaikan. Sedangkan tuntutan
informal memiliki fungsi memberikan kepada pegawai suatu perasaan aman,
persamaan hak dan kerjasama yang efektif.
Sementara itu pengertian incentive (insentif) menurut Kerlinger (1995 : 169) merupakan
“Perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan
mengarah langsung pada satu tujuan yang lebih daripada yang lain”, atau dapat
pula diartikan sebagai “Keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis manusia,
atau persiapan-persiapan daripada keadaan yang mengantarkan dengan harapan
dapat mempengaruhi atau merubah sikap/tingkah laku manusia.”
Pendapat di atas menjelaskan bahwa insentif adalah
suatu perangsang yang sengaja diberikan kepada para pegawai dengan tujuan agar
turut serta dalam membangun, memelihara, dan memperkuat harapan-harapan pegawai,
sehingga di dalam dirinya timbul semangat yang lebih besar untuk berprestasi
dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Dengan demikian motivasi kerja pegawai merupakan
dorongan dalam diri seorang pegawai yang menimbulkan semangat untuk
melaksanakan pekerjaan secara lebih giat, sehingga produktivitas daan
efektifitas kerjanya cenderung meningkat. Timbulnya motivasi kerja pegawai
dapat dipengaruhi oleh adanya rangsangan, baik yang datang dari dalam diri
pegawai sendiri (faktor intrinsik/faktor intern)
maupun berasal dari pengaruh luar pegawai (faktor ekstrinsik/faktor ekstern). Adapun kriteria yang dapat
dijadikan indikator untuk mengukur motivasi kerja pegawai dapat berupa motif,
pengharapan, dan insentif, yang masing-masing berfungsi menggerakkan kehendak
seseorang pegawai untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai tujuannya. Oleh
karena ada motivasi kerja yang meningkat daalam diri seorang pegawai, cenderung
dapat meningkatkan prestasi kerja, produktivitas kerja, serta efektifitas kerja
pegawai yang bersangkutan, sehingga berpengaruh pula terhadap meningkatnya
kinerja pegawai dalam menyelesaikan tugas pekerjaan yang menjadi tanggungjawab.
bersambung....
Advertisement
1 comments:
Oke..joss gandhoss..Bos..