"Benarkah Kurikulum sudah Merdeka?" Refleksi Hardiknas 2023
Oleh : Edy Siswanto
Tanggal 2 Mei 2023, biasa diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang bertepatan dengan hari lahir Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengambil Tema Hardiknas : "Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar".
Ada yang menarik, selain hardiknas 2023, seiring diterapkannya Kurikulum Merdeka yang sudah berjalan dua tahun, Bulan Mei 2023 ini juga dicanangkan sebagai bulan "Merdeka Belajar".
Menjadi pertanyaan bagaimana sesungguhnya konsep merdeka belajar itu? Benarkah Kurikulum Merdeka yan sudah berjalan dua tahunan, benar -benar sudah Merdeka? atau baru sebatas belajar merdeka?
Banyak yang menanyakan Kebijakan Kurikulum Merdeka ini. Selain akan berdampak pada maju mundurnya pendidikan. Konsep Merdeka Belajarpun akan berpengaruh pada siswa. Khususnya dalam hal tiadanya Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) yang diganti dengan Assesment Nasional Berbasis Kompetensi (ANBK) mulai tahun ajaran 2020/2021.
Belum optimalnya pembimbingan dan pendampingan bagi sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Masih terkesan berjalan dengan menterjemahkan sendiri masing-masing sekolah. Perlu adanya pendampingan implementasi Kurikulum Merdeka dengan masif.
Penulis mencermati, setelah berjalan dua tahun, setidaknya ada empat "catatan untuk Kurikulum Merdeka".
Pertama, Konsep merdeka balajar mestinya bisa fokus mendidik dan mengajar siswa, menggali potensi dan prestasi siswa. Bukan sebaliknya guru dibebani dengan tugas-tugas administratif. Masih banyak keluhan guru dengan banyaknya tuags-tugas yang justru "merasa terbebani". Mulai dari beban administrasi pembelajaran, penguasaan bahan ajar yang terlalu banyak. RPP yang semula berkonsep satu lembarpun "buyar" dengan adanya Modul Ajar (MA), pengembangan silabus, penyusunan Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), Kalender Pendidikan (Kaldik). Capaian Pembelajaran (CP), Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), Modul Ajar (MA).
Administrasi diatas jika dibukukan menjadi tebal sekali. Belum lagi berbagai aplikasi pendataan lain dari mulai Penilaian Angka Kredit (PAK) DUPAK, SKP, E-File BKD, dan seabreg platform aplikasi lainnya, yang harus dikerjakan guru. Waktu habis dengan mengejar kelengkapan administrasi. Hendaknya beban guru jangan sampai habis waktunya untuk "hanya sekedar" pemenuhan administratif belaka, lupa topoksi utamanya. Ujungnya kemajuan pendidikan kembali dipertanyakan.
Benarkah hadirnya Kurikulum Merdeka guru tidak terbebani dengan kegiatan administratif?. Kurikulum Merdeka belum bisa dikatakan efektif. Karena belum ada bukti yang bisa dirasakan kepraktisan oleh guru. Ini yang masih menjadi pertanyaan guru. Banyaknya beban guru, dengan disibukkannya kegiatan yang sifatnya administratif "masih membelenggu". Adanya aplikasi yang belum terkoneksi satu sama lain.
Kedua, proses pendampingan Kurikulum Merdeka belum merata. Kementerian memiliki struktur dan instruktur terpilih dari orang-orang yang non kementerian bukan widyaiswara seperti biasanya tetapi membuka kepada semua orang yang biasa melatih. Lalu diberi materi, kemudian ada pendampingan intensif selama sembilan bulan in-on di hotel maupun di sekolah. Juga ada panduan-panduan yang didampingi secara intensif, ada pendampingnya selama sembilan bulan dan itu disebut dalam total waktu 57 jam pelatihan.
Pertanyaannya apakah yang membuat Kurikulum Merdeka itu bagus adalah inheren didalam struktur kurikulumnya sendiri atau proses pelatihannya,” memaksakan kurikulum ini kepada semua sekolah tanpa pendampingan dan proses pelatihan yang sama akan menjadi bencana bagi sekolah-sekolah.
Ketiga, pada konsep tentang capaian pembelajaran di dalam Kurikulum Merdeka masih terkesan rumit. Di lihat dalam dokumen ternyata tidak seragam. Ada yang memiliki isi, elemen, sub elemen dan capaian pembelajaran. Lalu yang lain hanya element saja, lalu capaian pembelajaran dan proses penjelasannya masih sangat rumit, muatannya sangat banyak.
Pertanyaannya, apa itu capaian pembelajaran? apa yang disederhanakannya? Kalau misalkan di dalam Kurikulum Merdeka itu mereka menyatakan ada penyederhanaan. Kemudian dikatakan bahwa dalam K13 itu materinya terlalu berat. Ternyata setelah kami analisis di dalam struktur isi kompetensi yang ada sekarang ini, tema-temanya dijadikan satu.
Sebelumnya K1 K2 K3 K4 itu dibeda-bedakan dibentuk di dalam kolom tabel sehingga kelihatannya banyak dan panjang. Sementara di dalam format Kurikulum Merdeka dibuat koma, dan menyamping. Perbedaannya hanya pada penulisannya. Yang satu tabel yang satu menyamping tetap isinya sebenarnya sama beratnya. Jadi penyederhanaannya itu tidak begitu banyak.
Keempat, konsep administrasi yang disederhanakan. Faktanya dilapangan RPP bukannya disederhanakan. menjadi satu lembar, sesuai janji mas Nadiem diawal. Namun jika diperhatikan, Kurikulum Merdeka ini malah memberikan banyak pekerjaan baru bagi guru yang menyita waktu dan energi, terutama dalam membuat pembelajaran berbasis projeck. Karena mereka harus membuat tim, membuat modul pembelajaran, mereka bertemu dan lain-lain.
Disatu sisi belum banyak guru mendapatkan pelatihan hal itu. Kecuali bagi mereka yang sudah menjadi guru penggerak. Jadi bukan administrasi disederhanakan, tetapi di sisi lain, sebenarnya administrasinya menjadi semakin banyak. Administrasi yang disederhanakan itu tidak berkorelasi secara langsung dengan peningkatan kualitas mutu pembelajaran. lalu apa yang meningkatkan mutu pembelajaran?
Besarnya biaya yang digelontorkan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka, hendaknya sepadan dengan output yang dihasilkan. Pendampingan uji coba Kurikulum Merdeka pada 2021 saja di 2500 Sekolah Penggerak dan 18800 Guru Penggerak, menghabiskan dana Rp 2,86 T. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan anggaran uji coba Kurikulum 2013 yang hanya Rp1,46 T di 6326 sekolah. Perlu kiranya diadakan pendampingan secara masif sekolah yang menerapkan Kurikuum Merdeka dengan masif.
Advertisement